Rabu, 01 Juni 2011

Peristiwa Woyla: Pebajakan Pesawat Garuda



Kopassus (Google)
Assalamualaikum Wr. Wb, sudah lama gak nulis artikel di blog ini. Banyak hal yang harus dikerjakan, terutama bagi mahasiswa seperti Saya. Oke, kali ini Saya akan menceritakan sedikit cerita tentang kesuksesan Kopassus dalam memberantas teroris. Eksistensi Kopassus memang sudah terbukti dan mendapat pengakuan internasional berkat tragedi ini.

Mungkin sudah banyak blog yang memposting tentang Tragedi Woyla, di beberapa blog atau web banyak artikel tentang Tragedi Woyla terlihat begitu sama (baca: COPAS), namun kali ini berbeda. Saya menyusun berdasar kronologis dan tidak begitu panjang.
Dimulai awal keberangkatan pesawat Garuda Indonesia...


Tragedi Woyla
Garuda Indonesia Penerbangan 206 atau juga dikenal dengan sebutan Peristiwa Woyla adalah sebuah penerbangan maskapai Garuda Indonesia dari pelabuhan udara sipil Talangbetutu, Palembang ke Bandara Polonia, Medan yang mengalami insiden pembajakan pesawat pada 28 Maret 1981 oleh lima orang teroris yang dipimpin Imran bin Muhammad Zein, dan mengidentifikasi diri sebagai anggota kelompok Islam ekstremis "Komando Jihad". Penerbangan dengan pesawat DC-9 Woyla tersebut berangkat dari Jakarta pada pukul 08.00 pagi, transit di Palembang, dan akan terbang ke Medan dengan perkiraan sampai pada pukul 10.55. Dalam penerbangan, pesawat tersebut tiba-tiba dibajak oleh lima orang teroris Komando Jihad yang menyamar sebagai penumpang.


Pembajakan
28 Maret 1981
Pesawat Garuda DC-9 “Woyla” bernomor penerbangan 206 tujuan Jakarta-Medan dengan Captain Pilot Herman Rante dan Co-Pilot Hendy Juwantoro lepas landas dari Bandara Internasional Kemayoran, Jakarta menuju Bandara Polonia, Medan. Saat itu belum ada penerbangan langsung Jakarta-Medan, sehingga pesawat harus transit (stop over) di Palembang. Setelah pesawat take off dari Bandara Talang Betutu Palembang dan sedang berada di atas Pekan Baru, mendadak 5 orang menyerbu kokpit, menyandera pilot dan seluruh awak pesawat. Pembajak seluruhnya orang Indonesia bersenjatakan granat, senjata api, dan dinamit memberikan tuntutan kepada pemerintah Indonesia. Berita pertama pembajakan tersebut mulai diketahui pada pukul 10.18, saat Kapten Pilot A. Sapari dengan pesawat F28 Garuda yang baru tinggal landas dari Bandara Simpang Tiga, Pekan Baru mendengar panggilan radio dari Garuda Indonesia 206 (Woyla) yang berbunyi “..being hijacked, being hijacked”. Berita tersebut langsung diteruskan ke Jakarta.

Pembajak memaksa pilot untuk menerbangkan pesawat ke luar negeri, pokoknya sejauh mungkin meninggalkan Indonesia. Permintaan ini jelas tidak bisa dipenuhi pilot, karena sebagai pesawat penerbangan domestik, jumlah bahan bakar yang dibawa terbatas. Pada awalnya pembajak meminta pesawat diterbangkan ke Kolombo, Sri Lanka. Tetapi akhirnya pesawat dibawa ke Pulau Penang, Malaysia untuk mengisi bahan bakar dan selanjutnya dibawa menuju Thailand. Kepada otoritas penerbangan Thailand, pembajak meminta supaya mereka boleh mendarat di Pangkalan Udara U Tapao. Tetapi karena minimnya fasilitas disana, kemudian mereka diijinkan mendarat di Bandara Don Muang, Bangkok dan ditempatkan pada jarak sekitar 2,5 km dari landasan utama.


Para teroris juga menuntut kepada pemerintah untuk membebaskan sejumlah tahanan dari Peristiwa Cicendo 11 Maret 1981, Teror Warman serta Kasus Komando Jihad serta meminta tuntutan tambahan berupa uang sebesar 1,5 juta dollar AS. Mereka juga meminta pesawat untuk pembebasan tahanan, untuk diterbangkan ke suatu tempat yang dirahasiakan. Para teroris yang seluruhnya bersenjata api itu juga mengancam jika tuntutan itu tidak dipenuhi akan meledakkan Woyla dan seluruh penumpangnya. Mereka telah menanam bom di pesawat.

Menghadapi keinginan tersebut, TNI dan Pemerintah tidak menyerah. Berita ini kemudian diterima oleh Wakil Panglima ABRI/ Panglima Komkamtib, Laksamana Sudomo. Saat itu kekuatan pasukan ABRI sedang tidak terpusat di Jakarta karena sedang diadakan Latihan Gabungan (latgab) di Ambon. Berita mengenai pembajakan ini oleh Sudomo diteruskan ke Ambon dan diterima langsung oleh Assisten I Intelejen Hankam, Letnan Jendral Leonardus Benjamin Moerdani, yang lebih dikenal dengan nama Benny Moerdani. Informasi ini oleh Benny Moerdani disampaikan langsung kepada Panglima ABRI, Jendral Andi Muhammad Yusuf, yang lebih dikenal dengan nama M.Yusuf. Jendral M.Yusuf kemudian mempercayakan kepada Benny untuk menyelesaikan masalah ini bersama Kepala BAKIN, Jendral Yoga Soegama. Mereka kemudian diperintahakan untuk kembali ke Jakarta dan menghadap Presiden Soeharto untuk membicarakan tidakan selanjutnya. Yoga mendapat tugas untuk segera terbang ke Thailand, menjemput sandera sambil “bernegosiasi” dengan para pembajak, dengan tujuan mengulur-ulur waktu. Sementara Benny bertugas menyiapkan pasukan dan menyusun rencana operasi penumpasan pembajak.
Melalui berbagai upaya diplomasi dengan pembajak juga Pemerintah Thailand, Kabakin dan Letjen L. Benny Moerdani berhasil mengulur waktu dan mendapat ijin dari Pemerintah Thailand.



-Pesawat Garuda DC-9 'Woyla'-




Penyergapan dan Pembebasan
Pada tanggal 31 Maret, 30 Prajurit Kopassandha TNI AD (Korp pasukan sandhi Yudha) yang kini bernama Kopassus di bawah Komandan Letnan Kolonel Infanteri Sintong Panjaitan mendekati Woyla secara diam-diam. Namun beberapa saat sebelumnya Pemimpin CIA di Thailand menawarkan pinjaman jaket Anti-Peluru, namun ditolak karena pasukan Kopassandha Indonesia telah membawa perlengkapan mereka sendiri dari Jakarta.

Pukul 02.30 semua tim akan masuk ketika kode diberikan. Pada pukul 02.43, Tim Thailand ikut bergerak ke landasan, menunggu di landasan agar tidak ada teroris yang lolos. Ketika penyerbuan pada Selasa dini hari pukul 02.45 WIB seluruh pintu pesawat Woyla didobrak 30 prajurit Kopassandha, ternyata tak semuanya sesuai dengan skenario yang direncanakan. Saat menyerbu kokpit, pembajak menembak pilot Herman Rante hingga terluka parah pada bagian kepala. Ketika pasukan menyerbu pintu belakang, terdapat waktu sela supaya pintu dapat terbuka sepenuhnya, karena mekanismenya buka-tutup pintu dilakukan secara elektris. Setelah pintu terbuka, pasukan masuk. Karena sebelumnya terdapat waktu sela saat pintu membuka, pembajak yang ada di dekat pintu sudah bersiap menembakkan senjatanya.

Seorang prajurit bernama Achmad Kirang yang menerobos masuk terkena tembakan pembajak.Peluru menembus bagian badan Kirang yang saat itu tidak terlindung rompi anti peluru (flack jacket). Achmad Kirang terluka, tetapi pasukan yang bersamanya langsung menembakkan senjata yang merobohkan si pembajak. Pembajak juga sempat melemparkan granat ke arah pasukan. Tetapi karena kurang terlatih, granat tidak meletus karena cara mencabut pen yang tidak benar.

Seorang pembajak mencoba membaur dengan penumpang lain menuruni tangga pesawat. Tetapi penumpang lain menunjuk-nunjuk ke arahnya dan memberitahu bahwa ia adalah salah seorang pembajak. Melihat gelagat ini, pembajak tersebut berlari menjauh daari penumpang. Melihat gelagat mencurigakan ini tanpa ampun pasukan menghajarnya dengan berondongansenapan serbu M16. Ia terjatuh dan tewas seketika.

Saat pembersihan dilakuakan, Benny menyusup masuk ke dalam kokpit. Ia mengambil alih radio di pesawat. Kepada Yoga yang masih sabar berjaga, terjadi percakapan antara Benny dan Yoga.
“This is two zero six, could I speak to Yoga please?”
“Yes, Yoga is here…”
“Pak Yoga, Benny ini..”
“Diancuk, neng ngendi kowe???” (Sialan, dimana kamu??)

Akhirnya semua sandera diselamatkan dan seluruh pembajak dapat diringkus.



Pasca Penyelamatan

Pilot Herman Ranted an Achmad Kirang meninggal dunia di RS. King Bumibhol, Bangkok. Mereka kemudian dimakamkan di TMP Kalibata Jakarta dengan upacara kebesaraan.
Sementara para terrorist dan Imran bin Muhammad Zein selaku otak peristiwa pembajakan pesawat DC-9 ini kemudian dijatuhi hukuman mati oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada tahun 1981. Imran merupakan salah seorang yang terlibat dalam Peristiwa Cicendo bersama Maman Kusmayadi, Salman Hafidz, serta 11 orang lainnya. Maman dan Salman bernasib sama dengan Imran dan dieksekusi dalam hukuman mati.



Mengharumkan Nama Bangsa
Peristiwa ini berhasil mengharumkan nama Indonesia di dunia internasional, secara khusus Kopasandha (sekarang Kopassus). Para pasukan tersebut oleh presiden akhirnya mendapat kenaikan pangkat satu tingkat dan anugerah Bintang Sakti. Khusus untuk almarhum Achmad Kirang, ia mendapatkan kenaikan pangkat luar biasa 2 tingkat. Bintang Sakti merupakan penghargaan tertinggi bagi seorang prajurit. Tidak semua prajurit bisa mendapatkan anugerah ini. Bintang Sakti hanya diberikan kepada prajurit dengan dedikasi yang tinggi yang melakukan pekerjaan melebihi panggilan tugas. Dari sini kemudian terbentuk tim anti teror di Kopasandha yang sampai sekarang dikenal dengan nama Satuan 81 (Sat-81). Angka 81 diambil dari tahun terjadinya pembajakan, 1981.



Dari tulisan di atas, kita dapat mengetahui betapa perkasanya Kopassus sehingga dapat melumpuhkan teroris walau beberapa orang menjadi korban. Padahal saat itu Kopassus belum berpengalaman menghadapi pembajakan pesawat oleh teroris, dan semoga ini menjadi pelucut semangat para aparat keamanan di negara ini agar menjalankan tugas dengan sepenuh hati, tanpa mengharap imbalan dan tidak takut mati demi melindungi dan mengayomi sesama.


-Chandra-


Categories: , ,

3 komentar:

  1. untuk zaman skrg sepertinya densus88 yg dijagokan,,,klo dikombinasikan dengan Kopasus mungki lebih oke,,,
    tp mengapa hal itu sulit dipersatukan apakah Polri densus88 egois krena mampu???

    BalasHapus
    Balasan
    1. Agak berbeda perannya Bung. Densus lebih kepada penegakan hukum, shg lbh mengutamakan otentikasi & pengumpulan bukti di TKP (makanya cenderung mengulur waktu agar Teroris menyerah krn kehabisan perbekalan).
      Soal digabung, khan sdh ada BNPT, yg berisi gabungan pasukan, jd kalau kejadiannya berintensitas tinggi maka kepentingan hukumnya dikesampingkan, tim gabunganlah yg akan diterjunkan.

      Negeri asing sdh mengakui kemampuan (pengungkapan) kita, maka di Akpol Semarang beberapa tahun lalu dibangun JCLec, tempat sekolah anti terror utk Polisi sedunia

      Hapus
  2. Polri dan TNI punya tugas sendiri2, tugas untuk mengabdi kepada bangsa, mereka punya keahlian masing2, menurut saya tidak ada ke egoisan diantara mereka, mereka para benteng bangsa, berbanggalah kita...

    BalasHapus

Komentar Anda adalah sebuah bentuk penghargaan bagi Saya sebagai penulis. Berkomentarlah dengan sopan, Terimakasih.
(sertakanlah Linkback ke Link ini jika ingin Copy-Paste)